Artikel
PPTQ Al Kaukab
Kembali
Antara Mimpi dan Kenyataan (Chapter 1)
2024-09-23
Manusia Tertidur, Jika Mereka Mati, Barulah Mereka Terbangun
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Manusia itu tertidur, jika mereka mati, barulah mereka terbangun." Konon, beliau mendengar pernyataan ini langsung dari Nabi Muhammad SAW. Ungkapan ini sangat mendalam karena menghubungkan kesadaran kita terhadap apa yang kita anggap sebagai kenyataan dan mimpi.
Namun, apakah kita benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan kenyataan? Apa yang membedakan mimpi dan kenyataan? Jawaban paling umum adalah: mimpi tidak nyata, sedangkan kenyataan sudah pasti nyata. Tapi, apakah sesederhana itu?
Apa yang Dimaksud dengan "Nyata"?
Apakah kita benar-benar tahu apa itu nyata? Misalnya, rasa sakit kepala—kita merasakan sakitnya dengan jelas. Tetapi, apakah itu bukti bahwa rasa sakit itu nyata? Ketika kita memeriksakannya ke dokter dan dokter tidak menemukan indikasi apa pun, bukan berarti rasa sakit itu tidak ada. Kita tetap merasakannya.
Hal ini menunjukkan bahwa kita sering kesulitan membedakan antara kenyataan dan mimpi. Baik kenyataan maupun mimpi adalah pengalaman subjektif. Kita mungkin hanya membedakannya berdasarkan waktu: jika kita tidur, itu mimpi; jika kita terbangun, itu kenyataan.
Namun, apakah kita benar-benar sudah terbangun? Bagaimana jika kita masih tertidur dalam mimpi yang panjang? Sebab, baik dalam mimpi maupun kenyataan, kita merasakan pengalaman itu sebagai sesuatu yang nyata. Manusia yang kita temui, air yang kita minum, kursi yang kita duduki—bagaimana jika semua itu sebenarnya tidak nyata? Bagaimana jika semuanya hanyalah proses di otak kita, seperti halnya saat kita bermimpi?
Sensasi "Nyata" dan Ilusi Otak
Sensasi-sensasi yang kita anggap nyata, seperti meminum air, menyentuh benda, atau melihat pemandangan, sebenarnya hanya terjadi di otak kita. Semua itu muncul dari interaksi antar-neuron, yang juga terjadi ketika kita bermimpi.
Barangkali inilah maksud Ali bin Abi Thalib: bahwa baik mimpi maupun kenyataan sebenarnya sama saja, karena keduanya adalah proses internal di otak. Perbedaannya hanya muncul pada saat di akhirat nanti, ketika manusia benar-benar terbangun dan melihat hakikat kenyataan. Di sana, manusia akan menyaksikan kebenaran sejati dari segala sesuatu, termasuk perbuatan yang mereka lakukan selama hidup di dunia.
Bagaimana Rasanya Kenyataan di Akhirat?
Kita belum memiliki penjelasan tentang bagaimana manusia akan merasakan kenyataan di akhirat nanti. Apakah alat untuk mengobservasi kenyataan masih sama, yaitu indera tubuh dan otak, ataukah akan berbeda? Wallahu a'lam.
Yang jelas, bahkan pemahaman kita tentang kenyataan di dunia saat ini masih terbatas dan penuh kebingungan. Pada tingkat atom sekalipun, kenyataan itu sendiri masih dipertanyakan. Atom, yang menjadi dasar penyusun segala sesuatu di dunia, sebagian besar terdiri dari ruang kosong—99,98% adalah kekosongan. Sisanya hanya berupa partikel kecil seperti proton, neutron, dan elektron yang terus bergerak dan bergetar.
Jika dasar pembentuk segala sesuatu saja masih diragukan keberadaannya, maka tidak berlebihan jika Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa kenyataan dan mimpi itu sama saja: sama-sama tidak nyata. Menurut beliau, hanya di akhiratlah kita akan benar-benar terbangun dan menyaksikan kenyataan yang sejati.
Kenyataan di Dunia Maya
Keresahan ini semakin relevan di era digital dan virtual reality seperti sekarang. Kebingungan tentang apa yang nyata semakin sulit dipecahkan. Contohnya, berita dan video yang kita lihat di media sosial—apakah itu nyata atau hanya manipulasi kecerdasan buatan (AI)?
Apakah benar Putin, Kim Jong Un, dan Joe Biden bermain band? Apakah benar terjadi skandal di parlemen? Apakah benar tetangga kita yang baru saja membeli mobil baru terseret kasus korupsi? Semua informasi ini terasa seperti mimpi yang hilang begitu saja setelah kita menutup ponsel dan kembali ke rutinitas.
Lalu, bagaimana kita tahu apakah informasi tersebut benar-benar nyata? Atau, lebih penting lagi, apakah kita peduli itu nyata atau tidak?
Namun, sebelum kita mencapai akhir perjalanan itu, pertanyaan besar masih tetap ada: Apakah kenyataan yang kita alami sekarang benar-benar nyata?
Simak pembahasan selanjutnya di Chapter 2.