Artikel

PPTQ Al Kaukab

Kembali

Antara Mimpi Dan Kenyataan ( Chapter 2 )

2024-10-01

Membedakan Kenyataan dan Ilusi di Era Modern

 

Dalam dunia informasi modern yang serba cepat, kita sering kali menghadapi tantangan besar untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Salah satu cara sederhana untuk memverifikasi suatu informasi adalah dengan mencari sumber-sumber berbeda yang membahas hal yang sama. Jika informasi tersebut konsisten di berbagai sumber terpercaya, kita dapat menyimpulkan bahwa informasi tersebut mendekati kebenaran. Namun, verifikasi paling akurat adalah dengan menyaksikan langsung menggunakan mata kepala sendiri—meskipun ini sering kali sulit dilakukan.

 

Setelah kita yakin bahwa suatu informasi benar, pertanyaan berikutnya adalah: apa manfaatnya bagi kita? Pertama, informasi tersebut dapat menambah wawasan. Kedua, jika relevan dengan pekerjaan atau kehidupan, informasi itu bisa menjadi masukan yang sangat berguna. Ketiga, meskipun tidak langsung berguna, informasi tetap memiliki peran dalam membentuk perspektif kita terhadap dunia.

 

Namun, di tengah derasnya arus informasi, apakah kita benar-benar peduli tentang kebenaran dari informasi yang kita terima setiap hari?

 

Kehidupan di Era Media Sosial

 

Di era media sosial, banyak dari kita mungkin tidak lagi memisahkan antara kenyataan dan ilusi. Banyak orang lebih fokus pada kesan atau dampak emosional dari informasi atau konten yang mereka konsumsi, tanpa memikirkan apakah konten tersebut mencerminkan kenyataan. Misalnya, kita tertawa saat melihat video lucu, merasa marah melihat sesuatu yang provokatif, atau merasa pintar setelah mendengarkan sebuah podcast. Padahal, apa yang kita lihat hanyalah kumpulan gambar dan suara yang dihasilkan perangkat elektronik di genggaman kita, bukan peristiwa nyata yang terjadi di hadapan kita.

 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena otak kita secara alami tidak selalu mampu membedakan antara emosi yang muncul dari kejadian nyata dengan emosi yang dihasilkan oleh gambar atau video. Rasa marah saat menonton video yang menjengkelkan bisa sama intensnya dengan rasa marah yang muncul dari kejadian nyata yang tidak menyenangkan.

 

Media sosial dan konten digital hanyalah miniatur dari kenyataan. Peristiwa nyata sering kali dipadatkan dan disederhanakan ke dalam format visual dan audio yang mudah dikonsumsi. Misalnya, ada video yang benar-benar menggambarkan kenyataan, seperti liputan berita atau tutorial memasak. Namun, banyak juga konten yang tidak memiliki referensi nyata, seperti animasi, cerita fiksi, atau video hiburan lainnya.

 

Sayangnya, kebanyakan dari kita menerima semua bentuk konten tanpa menyaringnya. Kita tidak membedakan antara kenyataan sebenarnya dan kenyataan maya. Akibatnya, emosi kita sering kali dimainkan oleh konten yang kita konsumsi, karena kita cenderung menganggap semuanya nyata. Kita mungkin merasa marah, sedih, atau bahagia melihat suatu video, padahal yang kita lihat hanyalah representasi peristiwa, bukan kenyataan itu sendiri.

 

Fenomena ini dapat dibandingkan dengan pengalaman bermimpi. Ketika kita mengalami mimpi buruk, misalnya dikejar oleh sesuatu yang menakutkan, kita benar-benar merasa takut, berkeringat dingin, bahkan kelelahan. Namun, ketika kita terbangun, kita menyadari bahwa semua itu hanyalah mimpi.

 

Mungkin inilah maksud dari ungkapan Sayidina Ali bin Abi Thalib, "Manusia itu tertidur, dan ketika mereka mati, barulah mereka terbangun."

 

Saat kita hidup, kita merasa takut akan masa depan, khawatir tentang utang, stres menghadapi atasan, atau berbagai masalah lainnya. Kita benar-benar berkeringat dingin saat menghadapi tekanan besar, merasa malu dalam situasi yang sulit, atau kelelahan saat mengejar ambisi dan impian. Namun, ketika kita mati, mungkin kita akan menyadari: "Ah, ternyata itu hanya mimpi."

 

Merenungi Kenyataan

 

Ungkapan ini mengingatkan kita untuk merenungkan kembali bagaimana kita memahami kenyataan. Apa yang kita anggap sebagai kenyataan bisa jadi tidak lebih dari ilusi. Hidup penuh dengan tantangan, emosi, dan perjuangan yang terasa sangat nyata. Tetapi seperti dalam mimpi, semua itu mungkin menjadi semu ketika dilihat dari perspektif yang lebih besar.

 

Di era digital, di mana realitas maya dan nyata sering kali kabur, penting bagi kita untuk lebih bijak dalam menyaring informasi dan menyadari dampaknya terhadap emosi kita. Apakah kita benar-benar memahami apa yang nyata, atau kita hanya tersesat dalam ilusi yang diciptakan oleh dunia modern?

 

Hidup mungkin memang seperti mimpi—sebuah pengalaman penuh emosi yang sementara. Dan mungkin, hanya ketika kita "terbangun," kita akan memahami hakikat dari kenyataan yang sesungguhnya.