Artikel

PPTQ Al Kaukab

Kembali

Menjadi Manusia Wajib

2024-09-17

     Dalam Fiqih. Kita pasti mengenal pengklasifikasian hukum untuk suatu perkara, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.


Bagaimana jika kita memakai terminologi ini sebagai indikator seberapa bermanfaatnya diri kita terhadap manusia lainnya.  apakah kita ini termasuk manusia mubah atau termasuk manusia sunnah atau bahkan manusia wajib. Atau jangan-jangan kita ini malah termasuk manusia makruh atau manusia haram (naudzubillah ) .Untuk sekarang, kita akan fokus dulu pada ; Wajib. Menjadi Manusia Wajib. 

 

Imam At Thabrani pernah mengungkap hadist Nabi Muhammad SAW ; 

 

المؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ وَلاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لاَ يَأْلَفُ وَلاَ يُؤْلَفُ وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

 

"Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menerima dan tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."

 

     Manusia yang bisa menerima dan diterima serta paling bermanfaat bagi manusia lainnya akan kita pakai sebagai indikasi manusia wajib. 

 

     Pertama, kita akan mulai dengan mempersiapkan diri kita untuk menerima manusia sebagai manusia. itu artinya kita harus mulai membuka diri dan menurunkan standar subjektif-egois kita tentang manusia itu harusnya seperti apa. memang susah melakukan ini. karena kebanyakan kita sudah punya standar sendiri tentang manusia yang baik dan ideal itu seharusnya seperti apa. sedangkan pada kenyataannya, kita pasti akan sangat kesulitan menemukan manusia yang sesuai dengan standar kebaikan yang kita punya. apalagi jika standar kita terlalu tinggi. bisa-bisa semua manusia itu buruk, tak ada yang baik, tak ada yang ideal.

 

saya menawarkan sebuah latihan untuk menerima manusia secara apa adanya. dimulai dari menerima diri kita sendiri dulu. mengakui setiap kekurangan dan keburukan diri kita sendiri dan mulai memperbaikinya. 

 

من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن كان يو مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.( رواه الحاكم)

 

“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (HR. Al Hakim).

 

Dari hadits di atas, kita diberi cara untuk memperbaiki diri kita melalui ‘sebuah refleksi’ yaitu refleksi diri kita sendiri sebagai standar untuk menilai orang lain. 
; ah.. padahal saya sendiri tidak terlalu baik dalam menyampaikan sesuatu kepada orang lain kenapa saya malah berharap orang lain menyampaikan sesuatu dengan baik terhadap saya. mungkin akan lebih baik jika saya memperbaiki diri saya dulu.

 

     kedua, setelah kita mampu menerima manusia sebagai manusia. kita akan memasuki fase berikutnya, yaitu : bagaimana caranya agar kita bisa diterima oleh manusia lain. itu artinya kita mesti memperhatikan dan mengerti kode-kode moral dan nilai-nilai tak tertulis yang berlaku dalam lingkungan kita. Seperti memperhatikan budaya setempat, sekecil mengikuti alur pembicaraan dan intonasi-intonasi percakapan setempat yang selalu unik di setiap komunitas manusia. Atau mengikuti sikap dan budaya kerja setempat untuk sementara waktu. Agar kita dianggap sama dengan mereka. Seiring berjalannya waktu, setelah dirasa kita mulai diterima dalam komunitas itu. Bolehlah kita menunjukkan jati diri kita secara pelan-pelan. 

 

Untuk menyempurnakan latihan kita menjadi manusia yang sifatnya wajib atau hukumnya wajib harus ada di tengah komunitas manusia. kita akan memasuki fase ketiga. Yaitu; menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Ini adalah sebuah perjalanan panjang, prosesnya sama sekali tidak bisa instan. 

 

Mungkin, kita akan mulai dari menemukan relevansi jati diri kita di tengah komunitas manusia. Menjadi genuine adalah cara termudah untuk menemukan kebermanfaatan diri kita di tengah komunitas manusia. Karena setiap manusia itu dianugerahi oleh Allah SWT. fitrahnya masing-masing. dan setiap fitrah pasti ada tujuan kebermanfaatannya.

 

Dengan menyadari itu, kita tidak akan kesulitan menemukan peran dan relevansi kita. Cukup menjadi diri sendiri dan mengerjakan apa yang kita bisa dengan bersungguh-sungguh. 

 

Nabi Muhammad SAW itu dianugerahi sifat ‘siddiq’ yang artinya jujur. Jujur yang berarti bersungguh-sungguh. Dalam setiap perkataannya, perbuatan dan apa pun yang beliau kerjakan. Sebagai umatnya. kita sangat beruntung dengan kehadiran sosok beliau. Kita tak perlu mencari referensi ke mana-mana. cukup dengan meneladani sifat beliau yang siddiq, kita sudah punya strategi lebih dari cukup untuk menjadi manusia paling bermanfaat bagi manusia lainnya . — sebenarnya tak ada manusia yang lebih wajib daripada Nabi SAW. kehadiran beliau masih kita rasakan wajib harus ada di setiap renungan kita, di setiap langkah-langkah kehambaan kita. 

 

     Jadi, untuk berlatih menjadi manusia yang hukumnya wajib ada di tengah komunitas manusia yang kita perlu lakukan adalah meneladani salah satu sifat rasulullah SAW yaitu SIDDIQ. Yang artinya jujur atau bersungguh-sungguh dalam setiap perkataan, perbuatan dan pekerjaan kita